Wednesday, July 17, 2013

Menelusuri Sejarah Keberadaan Kerajaan Aru


Perjumpaan Budaya Aceh, Karo dan Melayu

Benteng Putri Hijau merupkan peninggalan dari Kerajaan Aru yang ditemukan di Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang Sumatra utara. Ia mengalami kerusakan akibat adanya pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pengembang swasta. Meski berada di Deli Tua, kerajaan ini semula berdiri di Besitang, yang kini berada di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, dan mulai disebut namanya sekitar abad 13.
Saat ini belum ada mufakat mengenai siapa Kerajaan Aru itu. Masyarakat Karo misalnya, menyebutkan bahwa aru merupakan Haru yang berasal dari kata “Karo”. Karena itu, masyarakat Aru merupakan masyarakat karo yang didirikan oleh Klan Kembaren. Dalam “Pustaka Kembaren” (1972), marga kembaren disebut berasal dari Pagaruyung di Tanah Minangkabau.
Orang Karo ini tidak mau disamakan dengan marga karo yang sekarang, yang disebut sebagai karo-karo (bukan asli). Orang Karo-Karo, seperti Tarigan, Sembiring, Perangin-angin, Sitepu dan Ginting, baru turun ke Deli pada awal abad ke 17.
Sejumlah sumber lain juga menyebutkan bahwa kerajaan Aru merupakan Kerajaan Melayu yang amat besar pada zamannya. Akan tetapi, Daniel Perret dalam buku “Kolonialisme dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek” (1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu” berarti suasana bergejolak dan rusuh disebuah wilayah.
Betapapun identitas kerajaan Aru belum terkuak penuh, Tengku Luckman Sinar dalam buku “Sari Sejarah Serdang” (Edisi Pertama, 1971) mencatat bahwa nama Aru muncul pertma kali pada 1282 dalam catatan Tionghoa pada masa Kublai Khan.
Menurut Perret Nama Aru kembali muncul pada 1413 dalam catatan Tionghoa dengan nama "A-lu” sebagai penghasil kemenyan. Pada 1436, sumber Tionghoa lain menyebutkan bahwa “A-lu” memiliki beras, kamper, rempah-rempah, dan pedagang-pedagang Tionghoa sudah berdagang emas, perak, dan benda-benda dari besi, keramik dan tembaga di Tan-Chiang (Tamiang).
Secara wilayah, kekuasaan Kerajaan Aru memang cukup luas. Ia terbentang dari Sungai Rokan, Riau kini. Jelasnya, ia meliputi sepanjang pesisir Sumatra Timur. Posisinya yang menghadap ke Selat Malaka membuat kerajaan ini mamainkan peranan penting dalam perniagaan dan aktivitas maritim. Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang amat aktif dalam priode yang begitu amat panjang, yakni mulai abad permulaan masehi hingga abad 19.
Bahkan Perret menyebutkan bahwa dalam hal tempat perdagangan, Aru merupakan negara yang setara dengan Kerajaan Malaka semasa dipimpin oleh Sultan Mansyur Shah yang berkuasa dari 1456 sampai 1477. Di awal abad 15, Aru dan China juga disebut pernah saling melakukan kunjungan. Posisinya yang strategis membuat Aru menjadi pentas politik perdagangan bagi negara-negara lain.
Kerajaan Aru dikatakan kerap berkonflik dengan kerajaan Pasai (Aceh). Pada awal abad 16, Aru menyerbu pasai dan membantai banyak sekali orang disana. Namun, serangan itu dibalas oleh Pasai. Melalui serangan berkali-kali, Aceh berhasil menjebol pertahanan Kerajaan Aru hingga rontok. Para petinggi Kerajaan Aru lalu melarikan diri ke Deli Tua dan memindahkan pusat kekuasaan baru di sana. Akan tetapi, meski sudah berpindah tempat, Kerajaan Aceh masih terus merangsek Kerajaan Aru II itu. Motif penyerangan Kerajaan Aceh kali ini diketahui karena keinginan rajanya untuk menikahi Ratu Aru II, yang dikenal sebagai Putri Hijau.
Dari beberapa sumber, tertulis bahwa Raja Kerajaan Aceh mengirimkan surat yang berisi tiga hal kepada Putri Hijau. Pertama, meminta Putri Hijau bersedia menjadi permaisuri Raja Aceh. Kedua, Aceh adalah Serambi Mekkah dan Aru adalah Serambi Aceh. Karena itu, Aru diminta tunduk kepada Aceh. Dan ketiga, Aceh akan menyebarkan agama Islam di Aru.
Dalam catatan Karo dari Biak Ersada Ginting yang banyak dikutip oleh berbagai sumber, Putri Hijau yang saat itu bertuhankan Dibata Si Mila Jadi – yang bermakna Tuhan yang maha pertama, paling akhir dan hanya dia yang tetap hidup – menolak mentah-mentah lamaran Raja Aceh. Akan tetapi berbeda dengan Biak Ersada Ginting, Perret mengatakan bahwa, sembari merujuk kepada penulis Prancis E. Mendes Pinto dalam buku “Chez Cotinet et Roger” (1964), masyarakat Aru dan Rajanya adalah Muslim. Dan dalam kutipan dari “Hikayat Melayu” dan “Hikayat Raja-Raja Pasai”, Kerajaan Aru atau Haru disebut sudah menganut Islam pada pertengahan abad 13; terlebih dahulu ketimbang Aceh dan Malaka.
Merasa terhina, penolakan dari Putri Hijau kemudian berbuntut pada pecahnya kembali perang besar antara Kerajaan Aceh dan Aru II. Masih diabad 16 itu, setelah berkali-kali melakukan serangan, Kerajaan Aceh yang disebut-sebut yang didukung oleh sebagian pasukan dari turki kembali berhasil mengalahkan Kerajaan Aru II. Kerajaan Aru II tidak hanya roboh, tetapi hancur dan musnah. Dari puing Kerajaan Aru II inilah berdiri kerajaan Deli. Panglima Gocah Pahlawan (asal India) dari Kerajaan Aceh kelak menjadi Sultan Kerajaan Deli pertama yang berkuasa pada 1632-1653.

Kerusakan benteng Putri Hijau di Sumatra Utara belakangan ini membawa kembali ingatan tentang bagai mana Sepak terjang Kerajaan Aru di masa Islam. Tidak Hanya ingatan, bahwa kerajaan ini membawa perjumpaan kisah antara Karo, Melayu dan Aceh, tetapi juga mengenai siapa ahli waris kerajaan besar itu.

Berikutnya >>



0 comments:

Post a Comment