Perjumpaan Budaya Aceh, Karo dan
Melayu
Benteng
Putri Hijau merupkan peninggalan dari Kerajaan Aru yang ditemukan di Kecamatan
Namorambe, Kabupaten Deli Serdang Sumatra utara. Ia mengalami kerusakan akibat
adanya pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pengembang swasta. Meski
berada di Deli Tua, kerajaan ini semula berdiri di Besitang, yang kini berada
di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, dan mulai disebut namanya sekitar abad 13.
Saat
ini belum ada mufakat mengenai siapa Kerajaan Aru itu. Masyarakat Karo
misalnya, menyebutkan bahwa aru merupakan Haru yang berasal dari kata “Karo”.
Karena itu, masyarakat Aru merupakan masyarakat karo yang didirikan oleh Klan
Kembaren. Dalam “Pustaka Kembaren” (1972), marga kembaren disebut berasal dari
Pagaruyung di Tanah Minangkabau.
Orang
Karo ini tidak mau disamakan dengan marga karo yang sekarang, yang disebut
sebagai karo-karo (bukan asli). Orang Karo-Karo, seperti Tarigan, Sembiring,
Perangin-angin, Sitepu dan Ginting, baru turun ke Deli pada awal abad ke 17.
Sejumlah
sumber lain juga menyebutkan bahwa kerajaan Aru merupakan Kerajaan Melayu yang
amat besar pada zamannya. Akan tetapi, Daniel Perret dalam buku “Kolonialisme
dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch
Woordenboek” (1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu”
berarti suasana bergejolak dan rusuh disebuah wilayah.
Betapapun
identitas kerajaan Aru belum terkuak penuh, Tengku Luckman Sinar dalam buku
“Sari Sejarah Serdang” (Edisi Pertama, 1971) mencatat bahwa nama Aru muncul
pertma kali pada 1282 dalam catatan Tionghoa pada masa Kublai Khan.
Menurut
Perret Nama Aru kembali muncul pada 1413 dalam catatan Tionghoa dengan nama
"A-lu” sebagai penghasil kemenyan. Pada 1436, sumber Tionghoa lain menyebutkan
bahwa “A-lu” memiliki beras, kamper, rempah-rempah, dan pedagang-pedagang
Tionghoa sudah berdagang emas, perak, dan benda-benda dari besi, keramik dan
tembaga di Tan-Chiang (Tamiang).
Secara
wilayah, kekuasaan Kerajaan Aru memang cukup luas. Ia terbentang dari Sungai
Rokan, Riau kini. Jelasnya, ia meliputi sepanjang pesisir Sumatra Timur.
Posisinya yang menghadap ke Selat Malaka membuat kerajaan ini mamainkan peranan
penting dalam perniagaan dan aktivitas maritim. Selat Malaka merupakan jalur
perdagangan laut yang amat aktif dalam priode yang begitu amat panjang, yakni
mulai abad permulaan masehi hingga abad 19.
Bahkan
Perret menyebutkan bahwa dalam hal tempat perdagangan, Aru merupakan negara
yang setara dengan Kerajaan Malaka semasa dipimpin oleh Sultan Mansyur Shah
yang berkuasa dari 1456 sampai 1477. Di awal abad 15, Aru dan China juga
disebut pernah saling melakukan kunjungan. Posisinya yang strategis membuat Aru
menjadi pentas politik perdagangan bagi negara-negara lain.
Kerajaan
Aru dikatakan kerap berkonflik dengan kerajaan Pasai (Aceh). Pada awal abad 16,
Aru menyerbu pasai dan membantai banyak sekali orang disana. Namun, serangan
itu dibalas oleh Pasai. Melalui serangan berkali-kali, Aceh berhasil menjebol
pertahanan Kerajaan Aru hingga rontok. Para petinggi Kerajaan Aru lalu
melarikan diri ke Deli Tua dan memindahkan pusat kekuasaan baru di sana. Akan
tetapi, meski sudah berpindah tempat, Kerajaan Aceh masih terus merangsek
Kerajaan Aru II itu. Motif penyerangan Kerajaan Aceh kali ini diketahui karena
keinginan rajanya untuk menikahi Ratu Aru II, yang dikenal sebagai Putri Hijau.
Dari
beberapa sumber, tertulis bahwa Raja Kerajaan Aceh mengirimkan surat yang
berisi tiga hal kepada Putri Hijau. Pertama, meminta Putri Hijau bersedia
menjadi permaisuri Raja Aceh. Kedua, Aceh adalah Serambi Mekkah dan Aru adalah
Serambi Aceh. Karena itu, Aru diminta tunduk kepada Aceh. Dan ketiga, Aceh akan
menyebarkan agama Islam di Aru.
Dalam
catatan Karo dari Biak Ersada Ginting yang banyak dikutip oleh berbagai sumber,
Putri Hijau yang saat itu bertuhankan Dibata Si Mila Jadi – yang bermakna Tuhan
yang maha pertama, paling akhir dan hanya dia yang tetap hidup – menolak
mentah-mentah lamaran Raja Aceh. Akan tetapi berbeda dengan Biak Ersada
Ginting, Perret mengatakan bahwa, sembari merujuk kepada penulis Prancis E.
Mendes Pinto dalam buku “Chez Cotinet et Roger” (1964), masyarakat Aru dan
Rajanya adalah Muslim. Dan dalam kutipan dari “Hikayat Melayu” dan “Hikayat
Raja-Raja Pasai”, Kerajaan Aru atau Haru disebut sudah menganut Islam pada
pertengahan abad 13; terlebih dahulu ketimbang Aceh dan Malaka.
Merasa
terhina, penolakan dari Putri Hijau kemudian berbuntut pada pecahnya kembali
perang besar antara Kerajaan Aceh dan Aru II. Masih diabad 16 itu, setelah
berkali-kali melakukan serangan, Kerajaan Aceh yang disebut-sebut yang didukung
oleh sebagian pasukan dari turki kembali berhasil mengalahkan Kerajaan Aru II.
Kerajaan Aru II tidak hanya roboh, tetapi hancur dan musnah. Dari puing
Kerajaan Aru II inilah berdiri kerajaan Deli. Panglima Gocah Pahlawan (asal
India) dari Kerajaan Aceh kelak menjadi Sultan Kerajaan Deli pertama yang
berkuasa pada 1632-1653.
Kerusakan
benteng Putri Hijau di Sumatra Utara belakangan ini membawa kembali ingatan
tentang bagai mana Sepak terjang Kerajaan Aru di masa Islam. Tidak Hanya
ingatan, bahwa kerajaan ini membawa perjumpaan kisah antara Karo, Melayu dan
Aceh, tetapi juga mengenai siapa ahli waris kerajaan besar itu.
Berikutnya >>
0 comments:
Post a Comment